Senin, 15 Januari 2024
1Sam. 15:16-23; Markus 2:18-22.
Bagi orang Yahudi, selain berdoa dan memberikan sedekah, berpuasa adalah salah satu kewajiban agama yang paling utama. Puasa dianggap sebagai sarana untuk menaklukkan kedagingan, merendahkan diri di hadapan Tuhan, dan memohon belas kasihan Tuhan. Orang Yahudi yang saleh melihat puasa sebagai tindakan kebajikan agama yang harus dijalankan untuk menyenangkan Tuhan.
Namun, Yesus memberikan perspektif baru terkait dengan praktik berpuasa ini. Meskipun sulit dipahami bagi orang Yahudi pada waktu itu, Yesus tidak menanamkan praktik berpuasa formal kepada para murid dan pengikut-Nya. Dalam Markus 2:19, Yesus memberikan alasan mendasar terkait ketidaksesuaian praktik berpuasa dengan kehadiran-Nya yang membawa kegembiraan: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sementara mempelai itu bersama mereka?”
Dengan merujuk pada gambaran mempelai laki-laki yang melambangkan Tuhan, Yesus menyatakan keilahian-Nya. Dia menyebut murid-murid-Nya sebagai “sahabat mempelai laki-laki,” menekankan hubungan yang intim dan erat dengan-Nya. Mereka yang bersama-Nya tidak perlu berpuasa, karena kehadiran-Nya adalah kegembiraan yang menggantikan kebutuhan untuk berduka dan berpuasa secara formal.
Gereja Kristiani, melalui teladan Yesus, mengadaptasi pandangan ini terhadap puasa. Meskipun puasa tetap menjadi praktik yang dihargai, Gereja melihatnya sebagai persiapan yang mendalam untuk meningkatkan hubungan pribadi dengan Tuhan dan memperkuat spiritualitas. Yesus sendiri memberikan contoh dengan berpuasa di padang gurun sebelum memulai pelayanan publik-Nya, menunjukkan bahwa puasa dapat menjadi sarana persiapan yang mendalam dan penuh makna. Dengan demikian, puasa dalam tradisi Kristiani mengandung makna yang lebih dalam, melebihi tindakan formal, dan menjadi sarana untuk memperdalam persekutuan dengan Tuhan serta mempersiapkan diri untuk melayani-Nya dengan lebih baik dan setia