Jiwaku Memuliakan Tuhan
Homili Mgr. Hironimus Pakaenoni, Uskup Agung Kupang, dalam Misa Tahbisan Diakon, 31 Mei 2024
(Zef 3:14-18a; Luk 1:39-56)
Hari ini Pesta Sta. Perawan Maria Mengunjungi Elisabeth, sekaligus Penutupan Bulan Maria. Injil hari ini berkisah tentang Kunjungan Maria dan Magnificat atau Nyanyian Pujian Maria.
Episode mengenai Kunjungan Maria kepada Elisabeth (Luk 1:39-56) yang memperluas dan menafsirkan peristiwa Kabar Gembira, sesungguhnya kaya akan perspektif kristologis dan mariologis. Perbandingannya dapat ditemukan dalam kisah tentang Daud yang membawa Tabut Perjanjian ke Yerusalem.
Sedangkan Magnificat, memperkenalkan nilai revelatif dan kerigmatis dari adegan Kunjungan itu, sekaligus menggarisbawahi di dalam bentuk puitis, apa yang telah diekspresikan Elisabeth dengan kata-kata biasa pada kesempatan kunjungan Maria. Kidung Pujian itu mengangkat teologi paling tua tentang Maria, yang sekaligus memberikan kesaksian tentang kekristenan awal yang menantikan Bunda Allah. Magnificat itu juga merayakan pemenuhan janji-janji perjanjian lama (bdk. ay. 55); menantikan datangnya Mesias dari keturunan Daud (Luk 1:32), Anak Allah (ay. 35) dan Juru-selamat (bdk. Luk 2:11,21), sebagai peristiwa menentukan yang membawa sukacita besar bagi seluruh umat (bdk. Luk 2:10). Rasanya cocok untuk menghubungkan Magnificat dengan Maria, karena dia memberikan sebuah model yang mendorong kemuridan bagi komunitasnya.
Penginjil Lukas menggambarkan Maria sebagai seorang wanita yang aktif bahkan proaktif, yang segera berangkat untuk mengunjungi sepupunya, Elisabet. Adegan ini biasa disebut Kunjungan, karena ia menjelaskan pertemuan antara dua wanita yang mensharingkan rahmat perkandungan anak-anak yang akan mengemban misi khusus dan istimewa dalam rencana keselamatan Allah. Kebergegasan Maria dan seruan lantang Elisabet menunjukkan sukacita yang luar biasa besar dari dua ibu yang sedang mengandung. Kedua wanita itu sangat sadar akan peran yang sedang mereka emban dalam sejarah keselamatan: Maria sedang mengandung Mesias; demikian pun Elisabet bersiap-siap melahirkan seorang nabi yang akan mempersiapkan jalan bagi Mesias yang sama.
Dalam hari-hari selanjutnya, kedua wanita itu mensharingkan pengalaman kehamilan mereka dan saling mendukung dalam ziarah iman mereka masing-masing. Mereka juga membagikan keprihatinan mereka akan Israel. Inilah satu-satunya adegan di dalam keseluruhan injil Lukas, di mana dua wanita bertemu dan menempati pusat pentas. Mereka terlibat dalam percakapan dan doa yang radikal dan subversif, yang mengekspresikan harapan mereka akan perubahan struktur masyarakat yang tidak adil. Dan hal ini hanya bisa terwujud dengan menurunkan yang berkuasa, meninggikan yang rendah, yang miskin, dan yang dimarginalkan dari dunia, serta mengenyangkan yang lapar dengan kebaikan (Luk 1;52-53). Dalam bahasa biblis, yang miskin, rendah, hina, merupakan “referensi jelas tentang bangsa Israel, yang biasanya berada dalam kondisi subordinasi, penindasan, dan penderitaan”.
Sembari berbicara mengenai kaum anawim, Maria menyanyikan kidung kaum tertindas, di dalamnya dia dan Elisabet mengekspresikan keprihatinan mereka terhadap Israel pada zaman mereka. Pembicaraan profetisnya mencirikan kedatangan Allah yang berbelaskasih, pemenuhan janji kepada Abraham dan Sarah. Maria mempersembahkan sebuah perspektif keteguhan hati dan mengatur sebuah agenda yang pasti tentang apa yang harus berubah: yakni bahwa dunia harus dibalikkan. Namun untuk itu dituntut iman yang teguh. Dan ternyata Maria sungguh percaya “bahwa apa yang telah dikatakan Tuhan kepadanya akan terpenuhi” (Luk 1:45).
Selanjutnya, Maria juga menjadikan keprihatinan Hannah sesudah kelahiran Samuel (1Sam 2:1-10) sebagai bagian dari keprihatinannya sendiri, dan mengidungkan hal-hal ini dalam lagu syukur. Keprihatinan ini tergambar jelas dalam Magnificat, yang ditempatkan Lukas sebagai antisipasi pemakluman Yesus mengenai misiNya untuk membebaskan kaum miskin dan terpinggirkan (Luk 4:18-19). Dan syukurlah bahwa Maria sungguh terbuka terhadap misi penyelamatan dan pembebasan itu, sekaligus menanggapinya dengan proaktif. Sejak awal pemakluman hingga “Saat Yesus”, Maria selalu menunjukkan kesatuannya yang intim dengan Yesus di dalam cinta keibuannya dan di dalam pemahamannya akan misi Yesus.
Dari narasi tentang Kunjungan Maria ke rumah Elizabeth, kita dapat melihat Maria sebagai contoh kerasulan Gereja. Dia membawa Yesus sekaligus membawa berkat ke rumah Zakaria. Pengalaman Gereja awal menunjukkan bahwa kekuatan Tuhan adalah karunia terbesar yang dapat diberikanNya. Membawa Yesus akan selalu menjadi norma tertinggi dari setiap kerasulan yang sungguh-sungguh. Misi Gereja sepanjang masa adalah menunjukkan Yesus sebagai hikmat dan kekuatan dalam setiap situasi kebutuhan manusia. Dalam hal ini, Yesus meminta kita untuk melayani-Nya dalam diri orang lain. Pelayanan Maria kepada Elizabeth melalui kunjungannya, tetap menjadi contoh bagi semua orang yang ingin bertemu dengan Kristus dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Perayaan Ekaristi hari ini kita juga akan menyaksikan ke-28 putra terbaik Gereja ditahbiskan sebagai Diakon, Hamba atau Pelayan dalam Gereja.
Dengan penumpangan tangan dan doa pengudusan, Tuhan akan mencurahkan Roh Kudus-Nya ke atas mereka dan menguduskan mereka sebagai diakon. Dalam Gereja dan dunia, mereka adalah tanda dan alat Kristus yang datang “bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani”. Mereka akan dimeterai dengan tanda yang selalu menyatukan mereka dengan Kristus sang Pelayan, yang taat sampai mati untuk keselamatan semua orang. Inilah momen sukacita dan harapan bagi Gereja Lokal dan juga Gereja Universal. Dalam perayaan ini, Gereja merasakan penghiburan ketika menyaksikan kekuatan mereka bertumbuh, kesetiaan mereka diperkokoh, dan kemampuan mereka untuk melayani semakin berkembang. “Para diakon adalah pelayan-pelayan Allah dan Kristus…..yang tidak menebar fitnah, tidak bertindak licik sebagai provokator yang mengadu-domba umat, tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain,bukan pencinta mamon dan uang; bersikap tulus dalam segala hal, penuh kasih sayang, bersemangat, memimpin sesuai dengan kebenaran Tuhan yang telah menjadikan diri-Nya Hamba atau Pelayan bagi semua.”
Pada intinya, para Diakon dipanggil untuk menjalankan tiga bentuk diakonia: diakonia Firman, diakonia Ekaristi, dan diakonia orang miskin.
Pertama-tama, para diakon bertugas mewartakan Injil dan membantu imam menjelaskan Firman Allah. Dalam hal ini, patut diingat bahwa Firman Allah bukanlah kata-kata kita! Firman yang terucap sesungguhnya bersifat “sakramental”, sekaligus sebagai bibir dari pelayan suci! Firman Allah yang terucap dari bibir pelayan akan mengusik perdamaian palsu banyak hati nurani, yang mengiris tajam setiap ambiguitas dan mampu menyentuh bahkan hati yang paling keras. Firman Allah yang selalu diwartakan Gereja juga bukanlah interpretasi personal yang diberikan hanya untuk menyenangkan telinga para pendengar. Sesungguhnya Firman Allah tanpa kompromi, tanpa basa-basi , tanpa ragu, tanpa ketakutan, atau kompleks di hadapan budaya dominan. Hal ini berarti bahwa bukan Firman Allah yang harus dijinakkan dan dikurangi agar sesuai dengan kenyamanan kita: sebaliknya, kitalah yang harus bertumbuh dan membantu orang lain bertumbuh sesuai dengan Firman. Kita tidak pernah boleh lupa bahwa kita tidak berurusan dengan sekadar kata-kata, melainkan dengan Firman. Karena itu juga patut disadari bahwa tidak mungkin budaya saat ini (termasuk budaya post-truth) yang menetapkan dirinya sebagai kriteria pemahaman, melainkan Firman-lah yang harus menghakimi dengan kuat, menimbang, menyempurnakan, dan bahkan mengubah system nilai budaya kontemporer. Itulah kebenaran yang menghakimi peristiwa, dan bukan sebaliknya, sebagaimana sering terjadi secara tragis dewasa ini. Dan salah satu tugas utama Gereja adalah diakonia kebenaran. Karena itu, jangan takut bahwa Firman Allah-lah yang mengkondisikan kepenuhan realisasi manusia! Firman Allah-lah yang mampu meruntuhkan aneka berhala, prasangka, kebohongan dunia, dan membebaskan manusia dari berbagai bentuk perbudakan dosa. Diakon adalah Pelayan Injil; dialah pengurus keselamatan abadi, bukan tujuan duniawi semata-mata; dialah nabi dunia baru yang solider, bukan dunia lama yang egois; dialah pembawa pesan yang memancarkan cahayanya sendiri atas masalah-masalah yang mendesak di bumi, tetapi yang tidak menutup diri dalam batas horison yang sempit.
Kedua, diakon juga merupakan rekan pertama Imam dalam perayaan Ekaristi, atau lebih tepat, rekan pertama dari “misteri iman” yang besar. Dia mengetahui kehormatan dan sukacita mendalam dengan menjadi pelayan dalam “Mysterium” yang besar! Kepada kalian dipercayakan Tubuh dan Darah Juruselamat, agar darinya umat beriman bisa diberi makan dan dikuatkan. Karena itu, perlakukanlah selalu misteri-misteri suci ini dengan penghormatan batiniah dari pikiran dan kasih, dengan kesungguhan eksternal yang penuh pemikiran dan rendah hati, dengan devosi rohani, yang merupakan ekspresi definitif dari jiwa yang percaya dan tetap sadar akan martabat yang tinggi dari tugas-tugasnya sendiri. Kalian harus ingat bahwa yang lebih penting secara pastoral bukanlah asimilasi gestur liturgis ke dalam kehidupan sehari-hari, tetapi agar tetap terjaga secara baik di dalam perayaan-perayaan liturgis, perbedaan radikal antara tindakan-tindakan sakral dan perjamuan korban Ekaristi, di dalamnya kita bertemu secara pribadi dan hidup dengan Penebus kita, dengan semua bentuk persahabatan dan relasi romantis manusiawi lainnya.
Ketiga, kepada para Diakon juga dipercayakan dengan cara khusus pelayanan kasih yang merupakan asal-usul institusi diakonat. Ketika Ekaristi ditempatkan secara tegas di pusat komunitas, hal itu tidak hanya membentuk hati setiap orang beriman untuk bersekutu dengan Kristus, tetapi juga mendesak mereka untuk bersekutu dengan saudara-saudara mereka. Perhatian terhadap kebutuhan orang lain, memperhatikan rasa sakit dan penderitaan saudara-saudara, serta kemampuan memberi diri, merupakan tanda-tanda khas dari murid Tuhan yang memberi makan dirinya dengan Roti Ekaristi. Kasih terhadap sesame tidak hanya harus diberitakan, melainkan harus dipraktikkan. Diakon harus murah hati, ramah, hangat, dan baik. Dia harus mengabdikan minat dan waktunya untuk kepentingan orang lain, serta komitmen hidupnya untuk pelayanan meja. Diakon, rekan kerja uskup dan para imam, harus menjadi ekspresi yang hidup dari kasih Gereja yang, secara bersamaan merupakan roti bagi yang lapar, cahaya dan kolaborator bagi kemajuan dan pembangunan sosial, kata dan tindakan untuk keadilan. Diakon adalah kendaraan istimewa untuk ajaran sosial Gereja.
Untuk setia pada tiga pelayanan ini, hendaklah kalian mengakarkan diri semakin intens dalam misteri gerejawi, di dalam hati Tubuh Mistik, dan dalam persekutuan para kudus. Rendamlah diri kalian dalam doa agar pekerjaan kalian sehari-hari terciprat dengan doa. Di tengah-tengah kehidupan sehari-hari, hendaklah kalian didukung secara intelektual oleh struktur metafisik yang hidup dan selalu merujuk kepada yang transenden. Dengan demikian, bahkan aspek-aspek sosial penting yang kalian emban, tidak bisa dijalani seolah-olah kalian adalah para pekerja sosial belaka di sektor-sektor tersebut. Kalian hidup dan bertindak dalam lingkungan itu sebagai diakon, dalam dimensi yang terkait dengan “Mysterium”, dalam dimensi yang mengambil energi dan dinamismenya dari hal-hal sakramental dan eskatologis, demi tegaknya Kerajaan Allah, dan bukannya Kerajaan dunia.
Sebagai Diakon, kalian dilahirkan dari Altar. Di dalam jantung Persembahan Ekaristi, kalian dilahirkan dalam doa. Maka hendaklah kalian setia terhadap Ibadat Harian. Itulah doa tiada henti dari Gereja yang dipercayakan secara khusus kepada para Pelayan Kudus. Peliharalah dialog yang intens dan penuh kasih dengan Bapa; berdoalah untuk diri kalian sendiri dan untuk seluruh dunia. Doa membantu kalian untuk naik ke atas, melampaui keramaian kota dan aneka kecemasan sepanjang hari; untuk membersihkan penglihatan dan hati kalian; penglihatan untuk memandang dunia dengan mata Allah, dan hati untuk mencintai sesama dengan hati Allah.
Semoga Santa Perawan Maria, Hamba Tuhan yang bersahaja, memohonkan anugerah bagi kita untuk mengikuti teladannya dalam hal kesediaan dan kemurahan hati dalam pelayanan kepada sesama. Hanya dengan menerima kasih sayang Allah dan menjadikan keberadaan kita sebagai pelayanan tanpa pamrih dan murah hati kepada sesama, kita pantas menyanyikan Kidung Pujian kepada Tuhan. Mudah-mudahan….Amin!!!