Kamis, Juli 25, 2024
Suara Gembala

Dari Sinode Para Uskup: “Surat kepada Umat Allah”

Saudari, saudara terkasih,
Menjelang berakhirnya sidang pertama, Sidang Umum Biasa ke-XVI Sinodal dari Para Uskup, kami ingin agar bersama dengan anda semua, mengucap syukur kepada Tuhan atas pengalaman indah dan kaya yang baru saja kita jalani bersama. Kami telah menjalani masa penuh berkah ini dalam persekutuan mendalam dengan anda semua. Kami telah didukung oleh doa-doa kalian, membawa serta harapan-harapan kalian, pertanyaan-pertanyaan, dan bahkan ketakutan anda sekalian. Dua tahun telah berlalu sejak saat itu, yang mana atas permintaan Paus Fransiskus, dimulailah proses mendengarkan dan penegasan yang panjang, terbuka bagi semua umat Allah, tanpa kecuali, untuk “berjalan bersama”, para murid misionaris yang mengikuti Kristus Yesus di bawah bimbingan Roh Kudus.

Sidang yang mempertemukan kita di Roma pada tanggal 30 September merupakan tahapan penting dalam proses ini. Dalam banyak hal, kesempatan ini merupakan pengalaman yang belum pernah terjadi sebelumnya. Untuk pertama kalinya, atas undangan dari Paus Fransiskus, baik pria dan wanita diundang, berdasarkan baptisan mereka, untuk duduk di meja yang sama, untuk mengambil bagian tidak hanya dalam diskusi tetapi juga dalam pemungutan suara pada Majelis Sinodal para Uskup ini. Secara bersama-sama, dengan saling melengkapi dalam panggilan, karisma, dan pelayanan kita mendengarkan Sabda Allah dan mendengarkan pengalaman sesama kita dengan sungguh-sungguh. Dengan menggunakan metode percakapan dalam Roh, kita dengan rendah hati berbagi kekayaan dan kemiskinan dari komunitas kita yang berada di semua benua, kita mencoba memahami apa yang ingin disampaikan oleh Roh Kudus kepada Gereja saat ini. Oleh karena itu, kita juga merasakan, betapa pentingnya mendorong pertukaran timbal balik antara tradisi Latin dan tradisi Kristen Timur. Dengan adanya partisipasi dari delegasi persaudaraan dari Gereja-Gereja lain dan komunitas gerejawi yang lain telah sangat memperkaya diskusi kita ini.

Pertemuan kita ini diadakan dalam konteks dunia yang sedang berada dalam krisis, yang mana ada luka-luka dan ketidaksetaraan yang memalukan yang sangat membekas di hati kita dan membuat pekerjaan kita menjadi sangat rumit, terutama karena sebagian dari kita berasal dari negara-negara di mana perang sedang berkecamuk. Kita berdoa bagi para korban kekerasan yang mematikan, tanpa melupakan mereka yang terjerumus oleh karena kemiskinan dan korupsi ke jalur migrasi yang berbahaya. Kita telah menjamin solidaritas dan komitmen bersama dengan para wanita dan pria yang bekerja sebagai pencipta keadilan dan perdamaian di setiap belahan dunia.

Atas undangan Bapa Suci, kita telah memberikan ruang yang penting untuk hening dan berdiam diri, untuk mendorong diantara kita sikap saling mendengarkan dengan penuh hormat dan memiliki keinginan untuk bersatu dalam Roh. Pada acara pembukaan vigil ekumenis, kami mengalami bagaimana rasa haus akan persatuan bertumbuh dalam kontemplasi yang hening akan Kristus yang disalibkan. “Sesungguhnya salib adalah satu-satunya katerdral dari Dia yang, dengan memberikan nyawa-Nya demi keselamatan dunia, mempercayakan murid-murid-Nya kepada Bapa, agar ‘mereka semua menjadi satu’ (Yoh 17.21). Bersatu dengan kuat dalam harapan akan diberikan kebangkitan-Nya kepada kita, kita telah mempercayakan kepada-Nya Rumah kita bersama di mana bergema suara dari bumi, suara orang-orang miskin yang semakin mendesak: ‘Laudate Deum!’, hal ini telah diingatkan oleh Paus Fransiskus di awal pekerjaan kita ini.

Hari demi hari, kita mendengar seruan yang mendesak untuk pertobatan pastoral dan misionaris. Karena panggilan Gereja adalah mewartakan Injil bukan dengan berfokus pada dirinya sendiri, namun menempatkan dirinya pada pelayanan cinta tak terbatas yang dengannya Allah mencintai dunia (bdk Yohanes 3:16). Ketika ditanya tentang apa yang mereka harapkan dari Gereja pada kesempatan sinodal ini, beberapa tunawisma yang tinggal di dekat Lapangan Santo Petrus menjawab: “Cinta!”. Cinta ini harus selalu menjadi jantung Gereja yang membara, cinta Trinitas dan Ekaristi, seperti yang diingatkan Paus Fransiskus dengan membangkitkan pesan dari Santa Teresa dari Kanak-kanak Yesus pada tanggal 15 Oktober, di tengah perjalanan pertemuan kita ini. Ini adalah “kepercayaan” yang memberi kita keberanian dan kebebasan batin untuk tidak ragu-ragu dalam mengungkapkan konvergensi dan perbedaan-perbedaan kita, keinginan-keinginan kita dan pertanyaan-pertanyaan kita secara bebas dan rendah hati.

Dan sekarang? Kami berharap bahwa bulan-bulan yang memisahkan kita dari sesi kedua, pada bulan Oktober 2024, akan memungkinkan setiap orang untuk berpartisipasi secara konkrit dalam dinamisme persekutuan misionaris yang ditunjukkan dengan kata “sinode”. Ini bukanlah sebuah ideologi melainkan sebuah pengalaman yang berakar pada Tradisi Apostolik. Seperti yang diingatkan Paus kepada kita di awal proses ini: «Persekutuan dan misi berisiko menjadi istilah yang agak abstrak jika praktik gerejawi tidak dikembangkan dengan mengungkapkan konkritnya sinodalitas (…), yang mendorong keterlibatan nyata dari setiap orang» (9 Oktober 2021). Tantangannya banyak dan pertanyaannya banyak: laporan ringkasan sesi pertama akan memperjelas poin-poin kesepakatan yang dicapai, menyoroti isu-isu yang masih terbuka dan menunjukkan bagaimana melanjutkan pekerjaan ini.

Untuk mencapai kemajuan dalam pilihannya, Gereja benar-benar perlu mendengarkan semua orang, dimulai dari yang paling miskin. Hal ini membutuhkan jalan pertobatan di pihaknya, yang juga merupakan jalan pujian: “Aku memuji Engkau, Bapa, Tuhan langit dan bumi, yang telah menyembunyikan hal-hal ini dari orang-orang terpelajar dan bijaksana dan mengungkapkannya kepada anak-anak kecil” (Lukas 10:21)! Ini tentang mendengarkan mereka yang tidak mempunyai hak untuk berbicara di masyarakat atau yang merasa dikucilkan, bahkan dari Gereja sendiri. Dengarkanlah orang-orang yang menjadi korban rasisme dalam segala bentuknya, terutama di beberapa daerah yang mana masyarakat, adat dan budayanya diejek. Yang terpenting, Gereja masa kini mempunyai kewajiban untuk mendengarkan, dalam semangat pertobatan, mereka yang telah menjadi korban pelecehan yang dilakukan oleh anggota badan gerejawi, dan berkomitmen secara konkrit dan struktural untuk memastikan bahwa hal serupa tidak terjadi lagi.

Gereja juga perlu mendengarkan umat awam, baik pria maupun wanita, yang semuanya dipanggil menuju kekudusan berdasarkan panggilan baptisan mereka: kesaksian para katekis, yang dalam banyak situasi merupakan orang pertama yang mewartakan Injil; kesederhanaan dan keaktifan anak-anak, antusiasme kaum muda, pertanyaan dan panggilan mereka; impian orang tua, kebijaksanaan mereka dan kenangan mereka. Gereja perlu mendengarkan keluarga-keluarga, masalah pendidikan mereka, dan kesaksian Kristen yang mereka berikan di dunia saat ini. Hal ini perlu untuk menyambut suara-suara dari mereka yang ingin terlibat dalam pelayanan awam atau dalam badan-badan yang telah dipilih dan diputuskan untuk berpartisipasi.
Agar dapat maju dalam disernimen dari sinodal, Gereja khususnya perlu mengumpulkan lebih banyak lagi kata-kata dan pengalaman dari para pelayan tertahbis: para imam, yang merupakan kolaborator pertama dari para uskup, yang pelayanan sakramentalnya sangat diperlukan bagi kehidupan seluruh Tubuh; para diakon, yang melalui pelayanannya menunjukkan kepedulian seluruh Gereja dalam melayani kelompok yang paling rentan. Sinodal juga harus membiarkan dirinya ditantang oleh suara kenabian dari para hidup bakti, jalan terjaga menuju panggilan Roh. Dan Gereja juga harus menaruh perhatian kepada mereka yang tidak beriman tetapi mencari kebenaran, dan yang di dalamnya Roh Kudus hadir dan aktif, Dia yang memberi “setiap orang kemungkinan untuk dipersatukan, sesuai dengan caranya mengenal Allah, dalam misteri Paskah” (Gaudium et spes 22).

“Dunia di mana kita hidup, dan di mana kita dipanggil untuk mencintai dan melayani bahkan dalam kondisi yang bertentangan, menuntut Gereja untuk memperkuat sinergi di semua bidang misinya. jalan sinodalitas justru adalah jalan yang Tuhan harapkan dari Gereja milenium ketiga ini” (Paus Fransiskus, 17 Oktober 2015). Kita tidak perlu takut untuk menjawab panggilan ini. Perawan Maria, yang pertama dalam perjalanan ini, menemani kita dalam ziarah. Dalam suka dan duka dia menunjukkan Putranya kepada kita dan mengajak kita untuk percaya. Dialah, Yesus, satu-satunya harapan kita!

Kota Vatikan, 25 Oktober 2023

***Diterjemahkan: Sr. Yofince, DCPB

Bagikan ke

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *