Hujan, Semangat Anak-anak, dan Katekese
Kaniti, 19/9/2024 — Waktu sudah menunjukkan pukul 19:35 Wita, dan suasana di Kaniti mulai sunyi. Pagar depan rumah sudah terkunci, dan lampu-lampu di halaman telah dipadamkan. Hujan yang mengguyur sejak sore belum juga reda. Tubuh yang kelelahan setelah menerobos hujan dari kota Kupang, mengisyaratkan satu hal: waktunya istirahat.
Namun, baru beberapa menit menikmati pembaringan, terdengar suara-suara di depan rumah. “Ibu Lan… Ibu Lan… su tidor ko?”, teriak beberapa anak dari luar pagar. Lebih dari satu suara, bahkan terdengar cukup ramai. Mata yang nyaris terpejam langsung terbuka. Suara-suara itu saya kenali, mereka adalah anak-anak SEKAMI dari KUB saya.
Dengan penuh canda, saya bergegas menuju pintu pagar. “Kenapa kalian ganggu saya?” ledek saya sambil membuka gembok, tersenyum melihat mereka berdiri dengan payung, menantang hujan. Di hadapan saya, ada tujuh anak yang nekat datang meski hujan belum mereda. Mereka adalah Jelvica, Odilia, Esni, Mechtildis, Chiko, Tresno, dan Marco.
“Ibu, kenapa tidur cepat sekali. Masih sedu ni!” protes mereka. “Kami mau katekese, ibu.”
Lelah yang dirasakan seketika sirna, berganti dengan energi baru yang datang dari antusiasme mereka. Bagaimana saya bisa menolak semangat dan maksud kedatangan mereka? Maka, katekese malam itu pun dimulai.
Kami duduk melingkar, berbagi pengalaman iman berdasarkan tema Bulan Kitab Suci Nasional (BKSN) 2024 pertemuan pertama: Allah, Sumber Pengharapan. Mengawali katekese di malam ini, Odilia memimpin doa, dilanjutkan dengan pembacaan Kitab Suci dan sharing pengalaman.
Bagian yang paling mengesankan adalah saat sesi sharing. Meski masih anak-anak, pandangan mereka tentang Tuhan begitu tulus dan menginspirasi. Odilia, dengan lugasnya, berkata, “Ketika ada yang memusuhi kita, jangan balas memusuhi. Biar Tuhan yang balas.” Jelvica, di sisi lain, merasakan berkat Tuhan dalam hidupnya melalui nafas kehidupan dan cinta dari orang tuanya.
Chiko, dengan cerita sederhana namun dalam, berkata, “Tuhan itu baik. Ketika tidak punya uang jajan, selalu ada teman yang berbagi bekal di sekolah.” Marco berbagi pengalaman perjalanannya dari Kupang ke Kefa yang aman karena perlindungan Tuhan, sementara Tresno dengan bijaknya menyadari kekuasaan Tuhan yang mampu menghardik laut dan merobohkan gunung. “Kita harus takut pada Tuhan dan berusaha jadi anak baik,” katanya.
Mechtildis dan Esni menekankan pentingnya sabar dan menahan emosi ketika dihina atau diperlakukan tidak baik, meneladani kesabaran Tuhan.
Malam itu, lelah yang semula terasa, seketika menghilang. Setelah mereka berpamitan pulang, saya masih duduk di ruang depan, mengagumi bagaimana kebaikan Tuhan hadir melalui anak-anak yang penuh semangat. Di tengah hujan, kasih Tuhan mengalir, memberi kekuatan dan mengembalikan semangat yang hampir pudar.
Katekese malam itu bukan sekadar pertemuan rohani biasa. Di dalamnya ada kebersamaan, ketulusan, dan pengharapan yang kembali dinyalakan oleh mereka yang kecil namun besar dalam iman. (***Magdalena Hokor)