“BERSUKACITALAH DALAM PENGHARAPAN”
Pesan Paus Fransiskus
untuk Hari Orang Muda Sedunia ke-38
Orang-orang muda yang terkasih!
Bulan Agustus yang lalu, saya berjumpa dengan ribuan orang muda seusia kalian, yang datang dari seluruh penjuru dunia, yang disatukan di Lisbon untuk merayakan Hari Orang Muda Sedunia. Pada masa pandemi, di tengah ketidakpastian, kita bermimpi tentang terselenggaranya perayaan besar, akan sebuah pertemuan dengan Kristus dan teman-teman muda yang lain, yang saat ini telah kita rayakan. Pengharapan itu telah terpenuhi dan banyak di antara kita yang hadir di sana – termasuk saya –, bahkan terlaksana melampaui apa yang dibayangkan. Sungguh, pertemuan di Lisbon adalah pertemuan yang indah; sebuah pengalaman transfigurasi yang nyata, dan sebuah pertemuan yang penuh cahaya dan ledakan sukacita.
Pada akhir Misa Penutup di “Ladang Rahmat” (Campo della Grazia), saya memilih untuk melanjutkan peziarahan kita di Seoul, Korea, pada tahun 2027. Akan tetapi, sebelumnya, saya ingin berjumpa dengan kalian, sahabat peziarahan dalam pengharapan, di Roma pada tahun 2025 untuk mengadakan perayaan Yubelium Orang Muda.
Orang muda yang terkasih,
Kalian merupakan harapan yang menyenangkan untuk Gereja dan kemanusiaan, yang selalu berjalan. Saya ingin ada di antara kalian, berjalan bersama dalam pengharapan. Saya ingin berbicara dengan kalian tentang sukacita dan harapan kita, tetapi juga tentang kesedihan dan ketakutan hati kita, serta tentang saudara-saudari kita yang sedang menderita (GS 1). Selama dua tahun dalam persiapan untuk Yubileum, mari kita merenungkan apa yang disampaikan Rasul Paulus, “Bersukacitalah dalam pengharapan” (Rm 12:12), untuk kita dapat mendalami nubuat nabi Yesaya, “Mereka berharap kepada Tuhan dan berjalan tanpa lelah” (Yes 40:31).
Dari mana kegembiraan itu datang?
“Bersukacitalah dalam pengharapan” (Rm 12:12) adalah sebuah seruan dari Santo Paulus kepada jemaat di Roma, yang ditulis pada masa penganiayaan. Nyatanya, seruan “sukacita dalam pengharapan” yang diwartakan oleh Rasul Paulus ini, merupakan refleksinya akan Misteri Paskah Yesus Kristus yang bangkit. Ungkapan ini bukan hasil dari usaha atau pemikiran manusia belaka, tetapi sukacita ini lahir karena sebuah pertemuan dengan Kristus. Sukacita kristiani adalah sukacita yang datang dari Tuhan, yang kita tahu begitu mencintai kita.
Benediktus XVI, merefleksikan pengalaman akan Hari Orang Muda Sedunia di Madrid tahun 2011, pernah bertanya: sukacita, “dari mana datangnya? Bagaimana cara menjelaskannya? Tentu saja ada banyak faktor yang dapat menjelaskannya. Akan tetapi, keputusannya adalah […] kepastian akan datangnya iman: saya adalah pribadi yang diinginkan. Saya dibentuk dari dan membentuk sejarah. Saya diterima, saya dicintai”. Beliau melanjutkan, “Pada akhirnya kita membutuhkan rasa untuk menerima diri kita dengan tanpa syarat. Hanya jika Tuhan menerima saya dan saya meyakininya, saya sungguh yakin: saya bersyukur bahwa saya ada. […] Adalah suatu hal yang patut disyukuri menjadi pribadi yang demikian, terutama pada masa-masa yang sulit. Iman menjadikan seseorang bersukacita dari dalam lubuk hatinya” (Pidato di hadapan Kuria Roma, 22 Desember 2011).
Di manakah pengharapan saya?
Masa muda adalah masa yang penuh dengan pengharapan dan impian. Masa muda adalah masa yang dipenuhi dengan realita-realita yang indah dan memperkaya kehidupan kita: kemegahan akan karya cipta, relasi dengan keluarga dan teman-teman kita, pengalaman dalam seni dan budaya, pengetahuan akan ilmu pengetahuan dan teknik, usaha-usaha kita untuk menegakkan kedamaian, keadilan dan persaudaraan, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, kita hidup di masa, di mana kebanyakan orang, termasuk orang-orang muda, mengalami sebuah kekosongan akan pengharapan. Sayangnya ada orang-orang muda seperti kalian, yang mana mereka hidup di tengah peperangan, kekerasan, penganiayaan, dan kegelisahan yang lain, mereka dilanda keputusasaan, ketakutan, dan depresi. Mereka merasa berada dikurung dalam sebuah penjara yang gelap yang tidak memiliki kemungkinan untuk melihat cahaya matahari. Hal ini secara dramatis ditandai dengan meningkatnya angka bunuh diri di kalangan orang muda di berbagai negara. Melihat situasi itu, bagaimana kita memiliki pengalaman sukacita dan pengharapan seperti yang diwartakan Santo Paulus? Sebaliknya, adanya keputusasaan yang berisiko mengambil alih tumbuhnya pengharapan, munculnya pemikiran bahwa berbuat baik itu tidak ada gunanya, karena tidak akan dihargai dan diakui oleh siapa pun, seperti yang kita baca dalam Kitab Ayub: “Kalau begitu, di manakah pengharapanku? Siapa yang akan melihat kebaikanku?” (Ayub 17:15).
Mengingat banyaknya tragedi kemanusiaan, terutama akan penderitaan orang-orang tak bersalah, kita diundang untuk mendoakan Mazmur. Kita bertanya kepada Tuhan: “Mengapa?” Pada saat yang sama, kita juga dapat menjadi jawaban Tuhan. Kita, diciptakan menurut gambar-Nya dan rupa-Nya, dapat menjadi ekspresi dari kasih-Nya yang dapat melahirkan sukacita dan pengharapan yang mana kadang dirasa tidak mungkin. Saya ingat akan seorang tokoh pada film “La vita è bella” (Life is Beautiful, Hidup itu indah), seorang ayah muda yang dengan sensitivitas dan kreativitasnya, berhasil mengubah sebuah realitas yang keras menjadi sebuah pengalaman yang baik dan menyenangkan. Dia memberi hadiah kepada anaknya, yaitu “mata pengharapan” yang dapat melindunginya dari kengerian kamp konsentrasi, menjaga kepolosannya, dan menjaganya dari manusia yang jahat yang ingin mencuri masa depannya. Cerita seperti itu bukanlah cerita fiksi! Kita juga melihatnya dalam kehidupan orang-orang kudus, yang mana mereka adalah saksi-saksi pengharapan di tengah banyaknya kejahatan manusia. Kita mengenal Santo Maximilianus Maria Kolbe, Santa Giuseppina Bakhita, pasangan Beato Józef dan Beata Wiktoria Ulma dan tujuh anak mereka.
Kemampuan untuk menyalakan api pengharapan di dalam hati manusia, berdasarkan kesaksian kristiani, adalah sebuah ungkapan yang diajarkan oleh Santo Paulus VI. Beliau mengatakan, “Seorang kristen atau sebuah kelompok kristiani, dalam komunitas di mana mereka tinggal, […] dengan cara yang sangat sederhana dan spontan memancarkan keyakinan terhadap beberapa nilai yang berada di luar nilai-nilai saat ini, dan berharap pada sesuatu yang tidak dapat dilihat dan tidak berani dibayangkan (Anjuran Apostolik Evangelii nuntiandi, 21)”
Pengharapan, sebuah keutamaan “kecil”
Seorang penyair Prancis, Charles Péguy, di awal pada sebuah puisinya tentang pengharapan, menyampaikan tiga keutamaan teologal, yaitu iman, harapan, dan kasih, seperti tiga saudari yang berjalan bersama:
“Pengharapan kecil berada di antara kedua saudari tua dan bahkan tidak diperhatikan […]
Dialah, si kecil, yang mengikat semuanya.
Karena iman tidak melihat apa yang ada.
Dan ia melihat apa yang akan terjadi.
Kasih tidak mencintai dengan apa adanya.
Tapi dia mencintai apa yang akan terjadi.
[…]
Dia membuat dua yang lainnya berjalan.
Dia yang mendorong mereka
Dia yang membuat semua orang berjalan”
(Serambi misteri kebajikan kedua, Milan 1978, 17-19)
Saya juga yakin akan sifat pengharapan yang sederhana, “kecil” tetapi menjadi dasar dari semuanya. Cobalah kalian pikir: bagaimana kita akan hidup tanpa pengharapan? Akan seperti apa hari-hari kita? Pengharapan adalah garam dalam kehidupan sehari-hari.
Pengharapan, cahaya yang bersinar di malam hari
Dalam Tradisi Kristen pada Triduum Paskah, hari Sabtu Suci adalah hari pengharapan. Antara Jumat Agung dan Minggu Paskah, Sabtu Suci seperti berada di antara suasana keputusasaan para Rasul dan sukacita Paskah. Di situlah, lahir sebuah pengharapan. Dalam keheningan, Gereja mengenangkan turunnya Yesus Kristus ke tempat penantian. Kita dapat melihatnya dalam beberapa ikon Gereja. Ikon-ikon tersebut menampilkan Kristus yang begitu memesona dengan cahaya-Nya yang turun ke dalam kegelapan. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa Tuhan tidak hanya melihat kematian manusia dengan belas kasih atau memanggil kita dari kejauhan, akan tetapi Ia masuk ke dalam pengalaman kegelapan kematian kita seperti cahaya yang bersinar dalam kegelapan dan berhasil memenangkannya (lih. Yoh 1:5). Hal ini diungkapkan dengan indah dalam sebuah puisi berbahasa Xhosa dari Afrika Selatan: “Jika pengharapan-pengharapan itu berakhir, puisi ini membangunkan kembali pengharapan itu. Pengharapanku bangkit kembali karena aku berharap pada Tuhan. Aku berharap bahwa kita akan bersatu! Bertahanlah dengan teguh pada pengharapan karena kesudahan yang baik sudah dekat.”
Tentang hal tersebut, kita ingat akan pengharapan Santa Perawan Maria, yang mana memiliki pengharapan yang sangat kuat di bawah Salib Yesus. Maria adalah Ibu Pengharapan. Di Gunung Kalvari, ia “tetap berharap sekalipun tak ada dasar untuk berharap” (Rm 4:18), ia tidak memadamkan hatinya akan keyakinan pada Kebangkitan Putra-Nya. Maria adalah pribadi yang mengisi keheningan pada hari Sabtu Suci dengan penantian akan pengharapan yang penuh. Maria meneguhkan para murid bahwa Yesus akan menang atas kematian dan kejahatan.
Pengharapan kristiani tidaklah sama dengan optimisme dan juga bukan ungkapan penghiburan yang menipu. Pengharapan kristiani adalah sebuah kepastian, yang berakar pada kasih dan iman, di mana Tuhan tidak akan meninggalkan seseorang sendirian dan Tuhan pun akan menepati janji-Nya: “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku” (Mzm 23:4). Pengharapan kristiani bukan sebuah penolakan akan rasa sakit dan juga terhadap kematian. Pengharapan adalah sebuah perayaan kasih akan Kristus yang bangkit yang selalu berada di dekat kita, bahkan ketika kita merasa jauh dari-Nya. “Bagi kita, Kristus adalah cahaya pengharapan yang besar yang menuntun kita dalam gelapnya malam, karena Dia adalah “Bintang Fajar yang Cerah” (Christus vivit, 33).
Memelihara Pengharapan
Kita perlu menyadari, bahwa terkadang ketika ada percikan api pengharapan dalam diri kita, kadang percikan itu menjadi padam karena muncul adanya kekhawatiran, ketakutan, juga tekanan dalam kehidupan sehari-hari. Percikan tersebut membutuhkan udara agar tetap menyala dan hidup menjadi sebuah api pengharapan yang besar. Roh Kudus akan hadir sebagai angin sepoi-sepoi yang akan memelihara percikan api pengharapan itu menjadi besar. Kita bisa melakukan secara bersama untuk memelihara api pengharapan tersebut dengan berbagai macam cara.
Pengharapan dipelihara melalui doa. Melalui doa, kita akan dilindungi dan pengharapan kita akan diperbarui. Doa akan menjaga percikan api pengharapan itu tetap menyala. “Doa adalah kekuatan utama dari pengharapan. Jika kamu berdoa, maka pengharapanmu akan tumbuh. Jangan menyerah!” (Katekese, 20 Mei 2020). Berdoa itu seperti mendaki ke tempat yang lebih tinggi: ketika kita berada di bawah, seringkali kita tidak dapat melihat matahari karena langit tertutup awan. Tetapi, ketika kita sudah mendaki melewati awan, kita dapat melihat cahaya dan merasakan panasnya matahari. Dari pengalaman mendaki tersebut kita menemukan sebuah kepastian bahwa matahari akan selalu ada, bahkan ketika semuanya tampak abu-abu.
Teman-teman muda yang terkasih,
Ketika hidup kalian dikelilingi kabut ketakutan, keraguan, dan penindasan, kalian tidak dapat melihat matahari. Maka, berdoalah. Sebab “jika tidak ada seorang pun yang mendengarkanku, Tuhan masih mendengarkan aku” (Benediktus XVI, Ensiklik Spe salvi, 32). Mari kita meluangkan waktu sebentar untuk beristirahat dalam Tuhan untuk dapat menghadapi segala kegelisahan dalam hidup kita: “Hanya pada Tuhan saja jiwaku tenang: sebab Dialah pengharapanku”(Mzm 62:6).
Pengharapan itu dipelihara melalui pilihan-pilihan kita setiap hari. Ajakan untuk bersukacita dalam pengharapan dari Santo Paulus (Rm 12:12) mengharapkan pilihan-pilihan konkret yang ada dalam hidup sehari-hari. Karena itu, saya mengajak kalian semua untuk memilih gaya hidup yang berdasarkan pengharapan. Saya beri contoh: di media sosial, kita merasa sangat muda untuk menyebarkan berita-berita buruk daripada berita yang penuh pengharapan. Untuk itu, saya mengajak kalian semua: sebarkanlah satu kata tentang pengharapan setiap hari. Jadilah agen pengharapan dalam hidup temen-teman kalian dan juga lingkaran kalian. Memang, pengharapan itu adalah kerendahan hati dan sebuah keutamaan yang berkarya setiap hari […]. Penting untuk kita ingat sepanjang hari, bahwa kita selalu disertai Roh Kudus yang berkarya dalam diri kita dan tampak pada hal-hal kecil. (Renungan pagi, 29 Oktober 2019).
Nyalakanlah obor pengharapan!
Suatu sore, pergilah keluar bersama teman-temanmu. Jika gelap, ambillah telepon pintar kalian dan nyalakan lampu untuk menerangi. Pada sebuah konser besar, banyak di antara kalian yang melambaikan lampu-lampu modern ini sesuai tempo musik, lalu terciptalah sebuah pemandangan yang mengesankan. Pada malam hari, cahaya membuat kita dapat melihat segala sesuatu dengan cara yang baru. Bahkan, dalam kegelapan dapat pula terlihat sebuah dimensi keindahan. Demikian pula cahaya pengharapan yang kita miliki, yaitu Yesus Kristus. Dari-Nya, dari kebangkitan-Nya, hidup kita menjadi terang. Bersama-Nya, kita dapat melihat segala sesuatu dengan sudut pandang yang baru.
Banyak orang datang kepada Santo Yohanes Paulus II untuk membicarakan permasalahan-permasalahan hidup. Pertanyaan yang muncul pertama darinya adalah “Bagaimana masalah itu kamu lihat dalam terang iman?”. Ketika sebuah masalah dilihat dengan cara pandang yang penuh pengharapan, maka akan tampak berbeda. Oleh karena itu, saya ingin mengajak kalian semua menerapkan cara pandang ini dalam kehidupan sehari-hari. Terdorong oleh pengharapan Ilahi, orang Kristen seharusnya dipenuhi oleh sukacita yang berbeda yang datang dari dalam dirinya. Tantangan dan kesulitan akan selalu ada, tetapi jika hidup kita “dipenuhi iman“, kita dapat menghadapinya. Bahkan, kita pun dapat menjadi sebuah obor kecil yang membawa pengharapan bagi orang lain.
Kalian bisa menjadi obor pengharapan, sejauh iman kalian teguh berhadapan pada kenyataan konkret dalam hidup sehari-hari. Mari kita lihat murid-murid Yesus, yang pada suatu hari berada di atas gunung yang tinggi, mereka melihat Yesus bersinar terang dengan mulia. Jika meraka tetap berada di sana, mereka akan memiliki sebuah pengalaman dan kenangan yang sangat indah. Akan tetapi, ada hal lain yang terabaikan. Maka, mereka harus turun. Kita tidak boleh lari dari kenyataan dunia, tetapi cintailah waktu kita, di mana Tuhan telah menempatkan kita, bukan tanpa alasan. Kita dapat menjadi bahagia dengan membagikan rahmat yang kita terima kepada teman-teman yang Tuhan berikan kepada kita setiap hari.
Orang-orang muda yang terkasih,
Jangan takut untuk membagikan pengalaman akan pengharapan dan sukacita atas Kristus yang bangkit! Percikan api itu telah menyala di hati kalian. Jagalah itu! Akan tetapi, di waktu yang sama, bagikanlah! Dengan demikian, kalian akan tumbuh; percikan api pengharapan itu akan menjadi besar. Kita tidak dapat menyimpan sendiri pengharapan kristiani itu, karena pengharapan itu diberikan untuk semua orang. Tetaplah dekat dengan teman-teman kalian yang mungkin tampak tersenyum, tetapi di dalam hati mereka sedang menangis dan berputus asa. Jangan biarkan dirimu bersikap acuh tak acuh dan menjadi seorang yang individualis. Tetaplah menjadi pribadi yang terbuka, sehingga kalian akan menjadi saluran pengharapan Yesus Kristus yang akan mengalir dan menyebar kepada orang-orang terdekatmu, kepada lingkungan sekitar tempat kamu tinggal.
“Kristus hidup! Dia adalah harapan kita dan kemudaan paling indah dari dunia ini.” (Christus Vivit, 1). Saya menuliskannya sekitar lima tahun yang lalu, setelah Sinode Orang Muda. Maka, saya mengajak kalian semua, terutama kalian yang berpastoral untuk orang muda, untuk membaca kembali Dokumen Final tahun 2018 dan Seruan Apostolik Christus vivit. Saatnya telah tiba untuk mempertimbangkan situasi dan untuk bekerja bersama dengan penuh pengharapan untuk mengaktualisasikan hasil dari Sinode yang tak terlupakan itu.
Marilah kita serahkan hidup kita kepada Maria, Ibu Pengharapan. Dia mengajarkan kepada kita bagaimana cara membawa Yesus, sukacita dan pengharapan kita, di dalam hati kita dan membagikan-Nya kepada sesama. Teman-teman yang terkasih, semoga kalian menikmati setiap langkah dalam perjalanan hidup kalian! Saya memberkatimu dan menemanimu dengan doa. Kalian juga, jangan lupa mendoakan saya!
Roma, Basilika Santo Yohanes di Lateran, 9 November 2023, Pesta Dedikasi kepada Basilika Lateran.