Kamis, November 20, 2025
Serba-Serbi

Ketika Jalan Salib Berubah dari Doa Menjadi Pertunjukan

Setiap Jumat dalam Masa Prapaskah—terutama pada Jumat Agung—umat Kristiani di seluruh dunia melangkah dalam devosi sakral: Jalan Salib. Sebuah perjalanan iman yang membawa kita menyusuri jejak penderitaan Yesus, dari pengadilan hingga ke puncak Golgota. Di dalamnya, tersimpan undangan untuk merenung, berdoa, dan memahami kembali cinta pengorbanan yang tak terukur. Namun, di tengah arus zaman dan ledakan budaya digital, Jalan Salib perlahan tergeser dari maknanya yang mendalam.

Apa yang dahulu merupakan momen hening dalam batin, kini sering tampil sebagai drama visual yang mengundang decak kagum—atau gelak tawa. Jalan Salib, alih-alih menjadi ruang doa dan pertobatan, berubah menjadi konten hiburan. Perjalanan Kristus yang seharusnya menyentuh hati, kini lebih sering menyenangkan mata. Ia viral di layar ponsel, tetapi sayup dalam nurani.

Belum lama ini, sebuah video viral di media sosial memperlihatkan seorang pemeran Yesus yang tiba-tiba meletakkan salibnya, mengejar, dan menendang seseorang di tengah “pementasan”. Penonton tertawa. Penonton bersorak. Tapi, siapa yang menangis? Siapa yang merenung?

Pertanyaannya sederhana namun menggelitik nurani: apa yang sebenarnya sedang kita rayakan? Apakah Jalan Salib masih menjadi ruang perjumpaan dengan Allah, atau telah menjelma jadi panggung sensasi digital? Apakah kita masih berdoa, atau hanya menonton?

Ini bukan tudingan terhadap seni visual atau drama liturgis. Justru sebaliknya—ketika dilakukan dengan penghayatan, visualisasi Jalan Salib bisa menjadi sarana pewartaan yang luar biasa kuat. Ia bisa menyentuh hati, membuka mata iman, dan menghadirkan pengalaman rohani yang hidup, terutama bagi generasi muda. Tetapi kunci dari semuanya terletak pada niat: apakah kita menghayatinya, atau sekadar memerankannya? Apakah kita bermaksud menyapa jiwa, atau hanya mengejar “likes” dan views?

Mendiang Uskup Emeritus Keuskupan Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, pernah mengingatkan dengan tegas, “Jalan Salib dalam Gereja Katolik, entah itu yang dilakonkan ataupun tidak, adalah sebuah doa, bukan ajang untuk ikut ramai, apalagi sekedar pertunjukan di atas pentas.” Pesan ini hari ini terasa lebih relevan dari sebelumnya.

Sebab Jalan Salib bukan drama. Ia adalah doa. Ia adalah ziarah batin menuju salib Kristus. Di sana, kita diundang bukan untuk berakting, tetapi untuk bertobat. Bukan untuk menjadi penonton, melainkan untuk berjalan bersama—memikul salib kehidupan dengan Kristus, dan menemukan harapan dalam luka-Nya.

Di tengah dunia yang semakin visual dan cepat, kita memang membutuhkan kreativitas dalam menyampaikan iman. Tapi kreativitas yang kehilangan kedalaman akan mengubah kekudusan menjadi tontonan. Dan ketika salib dibanting demi tawa, bukan lagi dipikul dalam kasih, kita harus berani bertanya: di mana hati kita sebenarnya berada?

Maka, mari kita jaga kembali kesucian Jalan Salib. Entah dalam doa hening di gereja, atau dalam drama rohani yang penuh penghayatan—biarlah semuanya bermuara pada satu hal: perjumpaan dengan Kristus yang mencintai sampai akhir. Jangan izinkan salib menjadi alat sensasi. Biarkan ia tetap berdiri tegak, sebagai tanda kasih yang menyelamatkan.

Karena Jalan Salib bukan viral musiman. Ia adalah jalan menuju keselamatan.

(***RD Yohanes Kiri)

Bagikan ke

4 komentar pada “Ketika Jalan Salib Berubah dari Doa Menjadi Pertunjukan

  • Terimakasih untuk sebuah refleksi batin yang luar biasa. Menurut saya hentikan semua drama jalan salib karena memang hanya akan mengundang orang lain untuk menjadikan itu sebagai hiburan semata sedangkan nilai sakralnya tidak lagi dirasakan.

    Balas
  • Maksimus Sobe

    Benar sekali Romo, tapi saat ini kita tidak bisa menghindar atau pun menyangkali kenyataan bahwa jaman telah berubah dan akan terus berubah dengan membonceng berbagai konsekwesi bagi perkembangan keimanan umat.
    Maka bagi saya, ini bukan tentang sebuah drama/ tablo yang sedang dipertontonkan utk menarik hati atau menyentuh hati para penontonnya, tapi lebih dari itu kembali pada pengasuh drama/tablo yang lihai menciptakan sebuah moment untuk menjawabi kebutuhan sikon. Menampilkan pelakon drama yang reflektif dan memiliki kematangan iman yang tangguh, tanpa mengabaikan situasi dan kondisi pertunjukkan.
    Trims, kupang 19 April 2025

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *