Jumat, 18 April 2025
Hari Jumat Agung
Yes. 52:13 – 53:12; Mzm. 31:2,6,12-13,15-16,17,25; Ibr. 4:14-16; 5:7-9; Yoh. 18:1-19:42
Hari ini kita berdiri di kaki salib. Dalam keheningan Jumat Agung, kita tidak bersorak, tidak berselfie, tidak bertepuk tangan. Kita merenung. Kita menangis. Kita mengingat kembali kisah cinta terbesar yang pernah ada—Tuhan Yesus yang rela disiksa, diadili tanpa keadilan, dan disalibkan demi kita semua.
Kisah sengsara yang baru saja kita dengarkan dari Injil Yohanes bukanlah kisah fiktif atau drama yang ditulis untuk hiburan. Ini adalah realitas sejarah dan spiritual. Sebuah kisah yang menyingkapkan kasih Allah yang begitu radikal, begitu total, bahkan sampai wafat di kayu salib. Di tengah kesunyian Golgota, Yesus berkata, “Sudah selesai.” Bukan sebagai tanda menyerah, tetapi sebagai puncak ketaatan-Nya kepada kehendak Bapa.
Namun hari ini, saya mengajak kita bertanya dengan jujur: apakah kita masih mengikuti Jalan Salib dengan hati?
Beberapa waktu lalu, sebuah video viral beredar luas di media sosial. Seorang pemeran Yesus dalam prosesi Jalan Salib kehilangan kendali, membanting salib, dan menyerang orang lain. Adegan itu direkam, ditonton, dijadikan meme, dan dibagikan ke mana-mana. Sekilas terlihat lucu. Tapi kalau kita merenung lebih dalam, hati kita mungkin menangis.
Apakah ini yang tersisa dari Jalan Salib?
Apakah Jalan Salib kini hanya menjadi pertunjukan tahunan, bahan konten, ajang viralitas, atau sekadar formalitas tradisi? Apakah salib masih kita pandang sebagai lambang cinta Tuhan yang menyelamatkan, ataukah hanya sebilah properti pentas?
Yesus dalam Injil Yohanes tampil dengan tenang, penuh wibawa, dan tanpa kekerasan. Dia tidak membela diri, tidak membalas hinaan, tidak lari dari salib. Sebab Dia tahu: salib bukan kegagalan, tetapi misi kasih. Ketika Dia berkata “Aku haus”, itu bukan hanya karena dahaga fisik, tetapi juga karena haus akan jiwa-jiwa kita. Dan ketika Dia menyerahkan nyawa-Nya, Dia tidak melakukannya dalam amarah, tetapi dalam kasih.
Maka hari ini, mari kita kembali ke inti Jalan Salib:
bukan pertunjukan, tapi permenungan.
Bukan tontonan, tapi penyerahan.
Bukan ajang ikut-ikutan, tapi undangan untuk berjalan bersama dengan Yesus seraya memikul salib hidup kita.
Yesus tidak membutuhkan kita untuk memerankan sengsara-Nya secara teatrikal. Ia membutuhkan hati kita yang mau setia berjalan bersama-Nya. Ia mencari murid yang tidak hanya berdiri di kerumunan, tapi yang berani berdiri di bawah salib-Nya bersama Maria dan Yohanes.
Saudara-saudari terkasih, Jumat Agung ini adalah saat untuk diam, untuk berhenti sejenak dari dunia yang riuh, dari notifikasi media sosial, dan menatap salib dengan hati yang terbuka. Biarlah salib itu berbicara kepada kita: tentang kasih, tentang pengorbanan, dan tentang harapan.
Karena hanya ketika kita memaknai salib sebagai jalan doa dan bukan sekadar pertunjukan, barulah kita sungguh-sungguh menjadi pengikut Kristus yang sejati.
Amin.
(***RD. YanQ – Komsos KAK)