Jumat, November 21, 2025
Serba-Serbi

Menggugah Kembali Makna Perayaan Iman dalam Era Digital

Di tengah kemajuan teknologi dan budaya digital yang begitu cepat, kita tak bisa menutup mata terhadap perubahan cara umat berinteraksi dengan perayaan-perayaan iman, termasuk dalam Gereja Katolik. Banyak momen sakral yang kini tidak hanya dihadiri dengan tubuh dan hati, tetapi juga—dan terkadang terutama—dengan kamera ponsel yang tak henti merekam.

Pada titik inilah, kita hendaknya kembali menyadari bahwa prosesi dalam Gereja bukanlah sekadar arak-arakan yang indah dilihat. Ia adalah ekspresi iman yang hidup, simbol nyata dari perjalanan rohani umat menuju perjumpaan yang lebih mendalam dengan Tuhan. Dalam prosesi, kita tidak hanya berjalan secara fisik, tetapi juga secara batin—bersama-sama, dalam doa, dalam kesatuan dengan seluruh Gereja.

Namun kenyataan di lapangan sering kali berkata lain. Prosesi dan perayaan iman yang semestinya berlangsung khidmat dan hening, kini kerap dipenuhi dengan aktivitas dokumentasi pribadi: foto, video, bahkan siaran langsung di media sosial. Yang lebih menyedihkan lagi, tidak sedikit yang hadir lebih sibuk mencari sudut terbaik untuk berfoto daripada menyatukan hati dalam doa.

Perlu kita bedakan secara tegas antara dokumentasi resmi dan dokumentasi pribadi. Dalam banyak perayaan, Gereja telah menunjuk tim dokumentasi khusus yang bertugas secara profesional dan tentu mereka bertugas dengan kesadaran liturgis yang penuh. Mereka mengambil gambar bukan demi kepentingan pribadi, tetapi sebagai bagian dari pelayanan—untuk mengenang, mendokumentasikan, dan membagikan momen iman umat secara tepat dan penuh hormat.

Kutipan mendiang Uskup Emeritus Keuskupan Agung Kupang, Mgr. Petrus Turang, pada awal misa tahbisan diakon di Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui beberapa tahun silam, menjadi pengingat yang sangat relevan untuk situasi ini:

“Kita datang di sini untuk berdoa bagi para calon diakon. Kita tidak sedang berada di pinggir pantai untuk segala macam panggung diambil dengan foto. Jadi saya minta, semua alat pemotret masing-masing disimpan di dalam tas. Nanti ada orang tertentu yang bertugas mengambil gambar.”

Pesan ini bukan sekadar teguran, melainkan ajakan untuk kembali pada esensi dari kehadiran kita dalam liturgi: berdoa, bersatu, dan mengalami kehadiran Tuhan secara nyata. Gereja bukan tempat wisata, dan altar bukan panggung pertunjukan. Maka mari kita rawat kesucian setiap prosesi iman, bukan hanya dengan aturan, tetapi terutama dengan sikap hati yang tulus dan penuh hormat.

Sebagai umat beriman, kita diundang untuk hadir bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara rohani. Ada kalanya kita perlu menyimpan ponsel, menutup kamera, dan membiarkan momen itu masuk ke dalam hati kita—diam, hening, namun hidup dalam kenangan rohani yang mendalam. Karena pada akhirnya, perayaan iman bukan untuk ditonton atau dipamerkan, melainkan untuk dijalani dan dihayati dalam iman.

 

(***RD Yohanes Kiri)

 

Bagikan ke

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *