Sabtu, Oktober 25, 2025
Renungan Harian

Kamis, 17 April 2025

Hari Kamis dalam Pekan Suci – Kamis Putih

Kel. 12:1-8,11-14; Mzm. 116:12-13,15-16bc,17-18; 1Kor. 11:23-26; Yoh. 13:1-15

Dalam perayaan Kamis Putih, kita dibawa masuk dalam sebuah peristiwa yang penuh keheningan dan keintiman: malam perjamuan terakhir. Suasana ruang atas, tempat Yesus berkumpul bersama para murid-Nya, menjadi saksi sebuah tindakan yang mengejutkan: Sang Guru, Tuhan, turun tangan membasuh kaki para murid-Nya.

Yesus tahu bahwa saat-Nya telah tiba — saat untuk berpindah dari dunia ini kepada Bapa. Dan dalam saat yang genting itu, Ia tidak memusatkan perhatian pada diri-Nya sendiri. Ia tidak sibuk memikirkan rasa takut atau penderitaan yang akan datang. Sebaliknya, Ia memilih untuk mengasihi sampai pada titik terakhir. Injil menegaskan: “Ia mengasihi mereka sampai pada kesudahannya.” Kasih-Nya tidak tanggung-tanggung. Tidak setengah hati. Tidak tergantung situasi. Kasih-Nya total dan tak bersyarat.

Dan justru pada saat itulah, Ia melakukan sesuatu yang tak terduga. Ia berdiri, menanggalkan jubah-Nya, mengambil kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya. Ia menuangkan air ke dalam sebuah baskom, lalu mulai membasuh kaki para murid satu per satu. Bagi para murid, ini sangat membingungkan. Ini adalah pekerjaan seorang budak, bukan seorang Guru. Tapi di sinilah letak keagungan kasih Yesus: Ia memilih jalan kerendahan hati. Ia menunjukkan bahwa pelayanan bukanlah pilihan, tapi identitas. Bahwa mencintai tidak cukup hanya dengan kata-kata, melainkan harus menjadi tindakan konkret yang mau merendah, menyentuh luka, dan membersihkan yang kotor.

Lebih dari itu, Yesus juga membasuh kaki Yudas, yang sebentar lagi akan mengkhianati-Nya. Ia tidak pilih-pilih dalam mencintai. Kasih-Nya melampaui pengkhianatan, melampaui kegagalan, melampaui luka. Kasih-Nya tetap utuh, bahkan terhadap mereka yang akan menyakiti-Nya.

Petrus pun sempat menolak. Ia tidak siap menerima kerendahan Tuhan. Tapi Yesus bersikeras. Sebab ini bukan sekadar gestur simbolik, ini adalah ajaran hidup. Yesus ingin para murid-Nya mengerti, dan suatu hari nanti mereka akan paham: bahwa hidup sebagai murid Kristus berarti siap untuk melayani, untuk mencintai tanpa pamrih, dan untuk merendahkan hati di hadapan sesama.

Dalam perjamuan malam ini juga, Yesus menetapkan Ekaristi — tanda kasih yang tak pernah habis dibagikan. Tapi Ekaristi tidak bisa dipisahkan dari tindakan membasuh kaki. Menerima Tubuh Kristus tanpa semangat melayani dan mengasihi sesama adalah ibarat menyambut roti tanpa membiarkan hati kita diubah olehnya.

Saudara-saudari, malam ini Yesus memberi teladan. Bukan perintah kosong, tetapi contoh yang hidup: “Aku telah memberikan teladan kepadamu, supaya kamu juga melakukan seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.” Maka, Kamis Putih bukan hanya mengenang peristiwa dahulu kala. Ini adalah ajakan untuk hidup seperti Yesus — dalam kasih yang konkret, dalam kerendahan hati yang nyata, dan dalam pelayanan yang tidak kenal lelah.

Marilah kita bertanya dalam hati: kepada siapa kita dipanggil untuk “membasuh kaki” hari ini? Mungkin itu keluarga kita sendiri, pasangan, anak-anak, rekan kerja, atau bahkan mereka yang sulit kita maafkan. Malam ini, Yesus mengajak kita untuk tidak hanya merayakan Ekaristi dengan mulut, tetapi menjalaninya dengan tangan dan hati. Menjadi murid yang melayani, bukan dilayani. Menjadi murid yang mencintai, bukan menghakimi. Menjadi murid yang mau merendahkan diri, seperti Sang Guru yang turun ke bawah untuk mengangkat kita semua.

Amin.

Bagikan ke

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *