Belas Kasihan Lebih Utama dari Persembahan
Jumat, 18 Juli 2025
Kel. 11:10-12:14; Mzm. 116:12-13,15-16bc,17-18; Mat. 12:1-8
Dalam Injil hari ini, kita melihat bagaimana Yesus dan murid-murid-Nya ditegur karena memetik bulir gandum di hari Sabat. Bagi orang Farisi, tindakan itu melanggar hukum. Tapi Yesus tidak terjebak dalam formalitas hukum. Ia mengajak kita semua untuk memahami esensi terdalam dari aturan: hukum seharusnya menata kehidupan, bukan menindasnya.
Sering kali kita melihat bahwa hukum atau peraturan — baik di masyarakat, keluarga, bahkan dalam lingkungan gereja — dijadikan alat untuk menghakimi, bukan untuk membangun. Bahkan tidak jarang hukum disalahgunakan demi kepentingan kelompok atau pribadi tertentu. Padahal, tujuan sejatinya adalah untuk menciptakan ketertiban dan keadilan yang membawa damai dan hidup yang lebih baik.
Yesus dengan tegas mengutip nubuat Hosea: “Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan.” Ini adalah pesan yang sangat mendalam. Allah tidak mencari ketaatan buta terhadap aturan, tetapi hati yang dipenuhi cinta dan kasih. Hari Sabat dan hukum lainnya ada bukan untuk mengekang perbuatan baik, melainkan untuk mengajarkan kita agar lebih peka terhadap sesama dan berani melampaui aturan demi kasih.
Yesus mengundang kita untuk bersikap kritis terhadap segala aturan. Bukan untuk memberontak, tetapi untuk menyaringnya dalam terang Injil kasih. Apakah aturan itu membawa kita lebih dekat kepada Tuhan dan sesama? Ataukah justru menjauhkan kita dari kasih?
Marilah kita belajar dari Yesus: menjadikan belas kasih sebagai hukum tertinggi dalam hidup kita. Sebab di hadapan Allah, hati yang penuh kasih lebih bernilai daripada segala persembahan lahiriah.
Amin.