Senin, September 15, 2025
Uncategorized

Sabtu, 29 Maret 2025

Hari biasa Pekan III Prapaskah

Hos. 6:1-6; Mzm. 51:3-4,18-19,20-21ab; Luk. 18:9-14

Dalam perumpamaan yang kita dengarkan hari ini, Yesus menceritakan kisah tentang dua orang yang pergi ke Bait Allah untuk berdoa: seorang Farisi dan seorang pemungut cukai. Keduanya datang untuk berjumpa dengan Tuhan, tetapi dengan sikap yang sangat berbeda. Sang Farisi berdoa dengan penuh kebanggaan, membanggakan perbuatan baiknya dan membandingkan dirinya dengan orang lain, terutama dengan pemungut cukai yang ada di dekatnya. Sebaliknya, pemungut cukai itu berdiri jauh-jauh, tidak berani menatap ke langit, dan hanya memukul dadanya sambil berdoa, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”

Yesus menegaskan bahwa justru pemungut cukai itulah yang pulang dengan dibenarkan oleh Allah, bukan sang Farisi. Mengapa demikian? Karena Tuhan tidak berkenan pada kesombongan, melainkan pada kerendahan hati.

Kerendahan Hati Membawa Belas Kasihan Tuhan

Saudara-saudari, kisah ini mengajarkan kepada kita tentang pentingnya kerendahan hati di hadapan Tuhan. Kerendahan hati bukan berarti merendahkan diri secara berlebihan, melainkan menyadari bahwa kita adalah manusia yang lemah, penuh dosa, dan sangat membutuhkan belas kasihan Allah.

Pemungut cukai dalam perumpamaan ini mewakili sikap hati yang jujur dan terbuka di hadapan Tuhan. Ia tidak membela dirinya, tidak mencari-cari alasan atas dosa-dosanya, tetapi dengan penuh penyesalan memohon belas kasih Allah. Dan inilah yang menyentuh hati Tuhan. Sebaliknya, sikap Farisi menunjukkan bagaimana kesombongan dapat menjauhkan kita dari kasih karunia Tuhan. Ketika kita merasa diri lebih benar daripada orang lain, ketika kita membanggakan perbuatan baik kita, kita kehilangan kepekaan akan kebutuhan kita akan rahmat Tuhan.

Jangan Merasa Lebih Baik dari Orang Lain

Sering kali dalam kehidupan, tanpa sadar kita memiliki sikap seperti orang Farisi. Kita mudah melihat kesalahan orang lain dan membandingkan diri kita dengan mereka, merasa lebih suci, lebih taat, lebih benar. Namun, Yesus mengingatkan bahwa bukan itu yang berkenan di hadapan Tuhan. Tuhan tidak melihat seberapa banyak kita berbuat baik dibandingkan orang lain, tetapi Ia melihat isi hati kita—apakah kita sungguh mengandalkan-Nya atau justru mengandalkan diri sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita perlu waspada agar tidak terjebak dalam sikap merasa lebih baik dari sesama. Ketika kita melihat seseorang yang jatuh dalam dosa, janganlah kita segera menghakimi, tetapi marilah kita mendoakannya dan mengingat bahwa kita pun bisa jatuh dalam dosa yang sama. Sebaliknya, marilah kita terus berusaha menjadi pribadi yang rendah hati, selalu sadar akan kelemahan diri dan mengandalkan Tuhan dalam segala hal.

Allah Menjunjung yang Rendah Hati

Yesus menutup perumpamaan ini dengan kata-kata yang sangat tegas: “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan; tetapi barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Luk. 18:14). Ini adalah janji sekaligus peringatan bagi kita. Jika kita datang kepada Tuhan dengan kerendahan hati, kita akan mengalami belas kasih-Nya. Tetapi jika kita datang dengan kesombongan, maka kita akan kehilangan berkat-Nya.

Maka, saudara-saudari, marilah kita belajar untuk selalu datang kepada Tuhan dengan hati yang penuh kerendahan. Akui kelemahan kita, mohonlah belas kasih-Nya, dan biarkan Dia yang mengangkat dan membenarkan kita. Semoga kita semakin bertumbuh dalam kasih dan kerendahan hati, sehingga hidup kita semakin berkenan di hadapan Tuhan.

Amin.

Bagikan ke

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *