Hak atas Pangan untuk Kehidupan dan Masa Depan yang Lebih Baik

SURAT GEMBALA USKUP AGUNG KUPANG
HARI PANGAN SEDUNIA 2025
“Hak atas Pangan untuk Kehidupan dan Masa Depan yang Lebih Baik”
(Mzm 145:15- 16)
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus,
Hari Pangan Sedunia diperingati setiap tanggal 16 Oktober sebagai momentum global untuk mengingatkan komitmen bersama terhadap peningkatan ketahanan pangan, kesejahteraan petani, dan akses yang adil terhadap makanan bergizi. Tema tahun sebelumnya, “Hak atas pangan untuk kehidupan yang lebih baik dan masa depan yang lebih baik”, telah menjadi pengingat bahwa pangan bukan sekadar komoditas, melainkan hak asasi manusia yang harus dijamin bagi semua orang.
Pada peringatan Hari Pangan Sedunia tahun ini, Konferensi Wali Gereja Indonesia mengusung kembali tema yang sama: “Hak atas Pangan untuk Kehidupan dan Masa Depan yang Lebih Baik”. Bagi Gereja, inilah prioritas utama, karena pangan memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia, yaitu memperoleh nutrisi agar dapat hidup sesuai dengan standar kualitas dan kuantitas yang memadai, yang menjamin kehidupan manusia yang bermartabat. Namun, fakta menunjukkan bahwa hak dasar ini sering kali diabaikan dan tidak diterapkan secara adil, dengan segala konsekuensi riskan yang ditimbulkannya.
Demi memajukan hak atas pangan ini, diperlukan transformasi sistem pangan yang mempertimbangkan keragaman dan keberagaman sumber makanan yang bergizi, terjangkau, sehat, dan berkelanjutan, sebagai sarana untuk mencapai ketahanan pangan dan pola makan sehat bagi semua orang. Untuk itu, upaya berskala kecil dari para petani dalam memproduksi pangan lokal seperti beras, jagung, sorgum, singkong, talas, umbi- umbian, sukun, labu- kuning, sayur- sayuran, serta buah-buahan lokal dengan dukungan infrastruktur pertanian berupa irigasi, benih unggul lokal, pupuk organik, serta akses pasar, tentu saja sangat penting.
Hal ini menuntut agar kita tidak melupakan dimensi sosial dan budaya yang melekat dalam tindakan menghidupi atau memberi makan bagi diri sendiri. Dalam hal ini, para pengambil keputusan politik dan ekonomi, baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional, harus mendengarkan suara mereka yang berada di lapisan bawah rantai pangan, seperti para petani kecil, serta kelompok sosial menengah, seperti keluarga, yang secara langsung terlibat dalam penyediaan pangan bagi masyarakat.
Solusi yang kuat untuk mengatasi dan menyelesaikan masalah pangan pada zaman dan konteks kita dewasa ini menuntut agar kita menjadikan prinsip subsidiaritas dan solidaritas sebagai dasar dari setiap program dan proyek pembangunan, sehingga kita tidak pernah menunda untuk sungguh- sungguh mendengarkan kebutuhan mereka yang bersuara dari bawah: para pekerja dan petani, orang miskin dan kelaparan, serta mereka yang hidup dalam kesulitan di daerah- daerah pedesaan yang terpencil. Kitab Keluaran 3:7 mengajarkan kita, “Dan TUHAN berfirman: ‘Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat- Ku di tanah Mesir, dan Aku telah mendengar teriakan mereka yang disebabkan oleh pengerah- pengerah mereka. Ya, Aku mengetahui penderitaan mereka”.
Umat manusia yang terluka oleh begitu banyak ketidakadilan, sangat membutuhkan tindakan nyata yang efektif untuk membangun kehidupan yang lebih baik, dengan bertindak bersama dalam semangat persaudaraan dan dengan kesadaran bahwa planet yang diberikan Allah kepada kita ini harus menjadi taman yang terbuka bagi hidup yang aman, damai, adil, dan sejahtera. .Untuk itu, diperlukan paradigma ekologi integral, agar kebutuhan setiap orang dan seluruh pribadi manusia diperhatikan, martabat mereka terlindungi, baik dalam relasi dengan sesama maupun dalam hubungan yang erat dengan pemeliharaan ciptaan. Hanya jika keadilan dijadikan pedoman dalam tindakan kita, maka kebutuhan manusia dapat benar- benar terpenuhi.
Penerapan paradigma ekologi integral dalam konteks NTT, khususnya di wilayah pastoral Keuskupan Agung kita, dengan tantangan alam dan lingkungan berupa kekeringan serta lahan kritis yang terhubung secara langsung dengan kemiskinan serta kerentanan pangan, tentu sangatlah relevan. Sembari menyadari bahwa akses pangan, keadilan ekonomi, dan kelestarian ekosistem merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, kita ditantang untuk: (a) menggunakan teknologi ramah lingkungan, memelihara keanekaragaman hayati, sambil memperkuat ekonomi petani. Dalam hal ini, pendekatan yang semata- mata teknis, misalnya bantuan pupuk atau irigasi, tentu saja tidak cukup. Perlu perubahan sosial, budaya, dan moral dalam pengelolaan sumber daya; (b) mempertimbangkan dampak ekologis dan sosial jangka panjang dari setiap kebijakan pembangunan infrastruktur, industri, dan pariwisata; (c) mengajarkan generasi muda bahwa menjaga alam bukan hanya kewajiban dan tanggungjawab ilmiah, tetapi juga moral dan spiritual; (d) terus menghidupi nilai- nilai budaya lokal yang menghormati alam, seperti: hukum adat tanah, larangan merusak sumber air, ritus syukur panen, dan lain- lain.
Saudara-saudari yang terkasih dalam Kristus,
Tema “Hak atas pangan demi kehidupan dan masa depan yang lebih baik” pada Peringatan Hari Pangan Sedunia tahun ini mengingatkan kita bahwa pangan bukanlah sekadar soal produksi dan konsumsi, melainkan soal keadilan, hak, dan martabat manusia. Dalam konteks wilayah pastoral Keuskupan Agung kita, tantangan kemiskinan, urbanisasi, migrasi, dan perdagangan orang, saling terkait satu sama lain, dan seringkali memperburuk akses masyarakat terhadap pangan yang layak.
Berhadapan dengan aneka tantangan dan persoalan aktual ini, kita diajak untuk terus membangun kerjasama yang integral dan berkelanjutan dengan semua pihak: Institusi Agama, Masyarakat, dan Pemerintah, dalam mengentaskan aneka persoalan nyata serta aktual yang sedang dialami; memberdayakan umat dan masyarakat untuk menjadi aktor dalam sistem pangan lokal; mendorong perlindungan hak atas pangan, khususnya bagi kaum miskin, serta pencegahan terhadap praktik- praktik eksploitasi manusia, sebagai bagian dari program ketahanan pangan.
Dalam Pesannya pada Hari Orang Miskin Sedunia tahun ini, Paus Leo XIV antara lain mengatakan: “Dalam memperjuangkan kebaikan bersama ini, tanggung jawab sosial kita berakar pada tindakan penciptaan Allah, yang memberikan kepada setiap orang bagian yang adil atas hasil bumi (Bdk. Mzm 145:15- 16). Seperti halnya kekayaan alam, hasil kerja manusia pun seharusnya dapat diakses secara adil oleh semua orang. Menolong orang miskin adalah soal keadilan, sebelum menjadi soal amal kasih. Seperti dikatakan Santo Agustinus: “Engkau memberikan roti kepada orang yang lapar; namun alangkah baiknya jika tidak ada seorang pun yang lapar, sehingga engkau tidak perlu memberikannya. Engkau memberi pakaian kepada orang yang telanjang; tetapi alangkah baiknya jika semua orang telah berpakaian, dan tidak ada lagi kebutuhan untuk menutupi kekurangan itu” (In I Ioan., 8:5).
Semoga peringatan Hari Pangan Sedunia 2025 menjadi momentum kebangkitan untuk memperkuat ketahanan pangan di wilayah kita, agar tiada warga yang kelaparan atau terpaksa mengorbankan masa depan karena kebutuhan dasar yang tak terpenuhi.
Kupang, 10 Oktober 2025
Salam dalam Kasih Kristus,
Mgr. Hironimus Pakaenoni
Uskup Agung Kupang