Paus Leo XIV: Iman Tak Dapat Dipisahkan dari Kasih kepada Kaum Miskin
Vatikan, 9 Oktober 2025 — Paus Leo XIV menyerukan agar Gereja dan umat Katolik di seluruh dunia memperbarui komitmen terhadap kasih Kristus yang diwujudkan dalam perhatian nyata kepada kaum miskin, tertindas, dan tersingkir. Seruan ini disampaikan melalui Seruan Apostolik pertamanya yang berjudul Dilexi te (“Aku telah mengasihi engkau”, lih. Why 3:9), yang ditandatangani pada 4 Oktober 2025, bertepatan dengan Pesta Santo Fransiskus dari Assisi.
Dokumen setebal 121 paragraf yang terbagi dalam lima bab ini menegaskan bahwa kasih Kristus tidak dapat dipisahkan dari pelayanan terhadap mereka yang menderita. “Dalam diri orang miskin, Allah terus berbicara kepada kita,” tulis Paus Leo (no. 5). Ia menegaskan bahwa pada wajah mereka yang terluka, Gereja menemukan wajah Kristus sendiri.
Dilexi te melanjutkan semangat ajaran para pendahulu Paus Leo XIV, mulai dari Santo Yohanes XXIII dalam Mater et Magistra, Paulus VI dengan Populorum progressio, hingga Yohanes Paulus II yang meneguhkan “pilihan istimewa bagi kaum miskin.” Ia juga menggemakan suara Benediktus XVI dalam Caritas in veritate serta Paus Fransiskus yang menjadikan solidaritas dengan kaum miskin sebagai tema pokok masa pontifikatnya.
Paus Leo menegaskan bahwa “ada ikatan yang tak terpisahkan antara iman dan kaum miskin” (no. 36). Ia mengkritik keras “diktator ekonomi yang membunuh”, budaya buang (“throwaway culture”), dan sistem pasar bebas yang menimbulkan ketimpangan sosial. Menurutnya, klaim bahwa dunia modern telah mengurangi kemiskinan hanyalah ilusi yang mengabaikan realitas baru dari ketidakadilan global.
Dalam dokumen ini, Paus juga menyoroti berbagai “wajah kemiskinan”: bukan hanya kemiskinan material, tetapi juga moral, spiritual, dan kultural. Ia menegur mentalitas yang menyalahkan orang miskin atas nasib mereka, menyebutnya sebagai bentuk “kebutaan dan kekejaman moral.” Paus menegaskan bahwa kemiskinan bukanlah hasil kebetulan, melainkan konsekuensi dari struktur sosial yang tidak adil.
Paus Leo XIV juga menyinggung secara khusus nasib para migran, perempuan korban kekerasan, dan mereka yang hidup tanpa hak serta kebebasan. “Dalam setiap migran yang ditolak, Kristus sendiri mengetuk pintu komunitas,” tulisnya (no. 75). Ia menekankan empat kata kunci dalam pastoral migran: “menyambut, melindungi, memajukan, dan mengintegrasikan.”
Selain menyerukan perubahan sistem sosial, Paus Leo mengajak umat untuk bertobat secara pribadi dengan menghidupkan kembali praktik kasih, termasuk sedekah yang kini “sering diremehkan atau diabaikan” (no. 115). Ia menulis, “Lebih baik melakukan sesuatu daripada tidak sama sekali. Sedekah menyentuh hati kita yang keras dan menyatukan kita dengan penderitaan sesama.”
Menutup seruannya, Paus Leo XIV menegaskan bahwa kaum miskin bukanlah objek belas kasihan semata, melainkan bagian dari keluarga Gereja sendiri. “Tidak ada seorang pun Kristiani yang boleh memandang orang miskin sekadar sebagai masalah sosial. Mereka adalah jantung Gereja,” tegasnya (no. 111).
Dengan Dilexi te, Paus Leo XIV meneguhkan kembali wajah Gereja yang berbelas kasih, berpihak pada yang kecil dan lemah, serta memandang pelayanan kepada kaum miskin sebagai pusat dari kesetiaan kepada Injil Kristus.
