Minggu, Oktober 26, 2025
Renungan Harian

Senin, 14 April 2025

Hari Senin dalam Pekan Suci

Yes 42:1-7; Mzm 27:1.2.3.13-14; Yoh 12:1-11

Kita baru saja merayakan Minggu Palma, dan hari ini kita memasuki masa sunyi nan agung yang disebut Pekan Suci. Dalam suasana menjelang sengsara dan wafat Tuhan, Injil hari ini membawa kita ke sebuah rumah di Betania—rumah yang penuh kenangan, tempat persahabatan dan kasih tumbuh antara Yesus dan keluarga Lazarus, Marta, dan Maria.

Di sanalah kita melihat sebuah tindakan yang sederhana tapi penuh makna. Maria mengambil sebotol minyak narwastu murni yang sangat mahal, meminyaki kaki Yesus, lalu menyekanya dengan rambutnya. Tidak banyak kata, tidak ada penjelasan panjang. Hanya tindakan yang berbicara. Sebuah ungkapan kasih yang begitu dalam, tulus, dan tanpa perhitungan. Ia memberikan yang terbaik untuk Yesus, bukan yang sisa, bukan yang murah, tapi yang paling berharga.

Namun di tengah keharuan itu, suara sumbang muncul. Yudas Iskariot bertanya dengan nada sinis: “Mengapa minyak itu tidak dijual saja dan uangnya diberikan kepada orang miskin?” Sekilas, pertanyaan ini tampak bijak, bahkan terkesan peduli. Tapi kita tahu, seperti yang ditulis dalam Injil, Yudas tidak benar-benar peduli. Ia melihat harga, bukan makna. Ia menghitung, bukan mengasihi.

Inilah kontras yang tajam: Maria mempersembahkan kasih, Yudas memperhitungkan harga. Maria berkorban tanpa banyak kata, Yudas bicara tanpa kasih. Tindakan Maria mengalir dari hati yang mengenal Yesus, yang mencintai Yesus. Sementara kata-kata Yudas berasal dari hati yang gelap, yang sudah kehilangan arah, dan yang sebentar lagi akan menjual Gurunya sendiri.

Pesan Injil hari ini sangat dalam bagi kita. Ketika kasih mulai dihitung, ia kehilangan nilainya. Ketika kebaikan mulai dipertimbangkan untung-ruginya, ia kehilangan jiwa. Kasih sejati tidak pernah pakai kalkulator. Ia mengalir, memberi, dan bahkan rela kehilangan segalanya demi yang dikasihi.

Kadang dalam hidup kita, kita pun seperti Yudas—menghitung saat diminta untuk mencintai. Kita mulai bertanya: “Apa balasannya kalau saya membantu?” “Apakah saya akan dihargai kalau saya melayani?” “Apakah ada manfaatnya kalau saya berkorban?” Kita lupa bahwa kasih sejati tidak bertanya, “Apa yang akan saya dapat?” melainkan, “Apa yang bisa saya berikan?”

Pekan Suci ini mengundang kita untuk belajar dari Maria—perempuan yang tidak banyak bicara, tapi tindakannya lebih fasih dari seribu kata. Ia menunjukkan bahwa kasih itu tidak perlu spektakuler, cukup tulus. Tidak perlu dihitung, cukup diberikan sepenuh hati.

Yesus tidak memarahi Maria. Ia justru membela dia. Ia memahami bahwa kasih seperti ini langka. Dan Ia tahu bahwa tindakan kasih seperti inilah yang paling berharga saat seseorang sedang menuju salib.

Maka hari ini, mari kita bertanya pada diri kita sendiri: kasih seperti apa yang sedang aku jalani? Apakah aku mencintai dengan perhitungan? Ataukah aku berani memberi yang terbaik, walau tidak selalu dilihat atau dihargai?

Semoga kasih kita kepada Tuhan dan kepada sesama, di masa suci ini dan dalam hidup setiap hari, menjadi seperti minyak narwastu itu—harum, tulus, dan tak ternilai harganya.

Amin.

Bagikan ke

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *