Minggu, Oktober 26, 2025
Renungan Harian

Sabtu, 22 Maret 2025

Hari biasa Pekan II Prapaskah

Mi. 7:14-15,18-20; Mzm. 103:1-2,3-4,9-10,11-12; Luk. 15:1-3.11-32

Hari ini kita merenungkan salah satu perumpamaan yang paling indah dan menggugah hati dalam Injil, yaitu perumpamaan tentang anak yang hilang. Kisah ini menggambarkan dengan sangat jelas kasih Bapa yang luar biasa terhadap setiap anak-Nya.

Dalam perumpamaan ini, kita melihat ada tiga tokoh utama: sang bapa, anak bungsu yang pergi meninggalkan rumah, dan anak sulung yang tetap tinggal bersama ayahnya. Masing-masing dari mereka menggambarkan realitas hidup kita sebagai manusia.

Anak bungsu melambangkan mereka yang tersesat karena memilih jalan yang menjauh dari kasih Bapa. Ia meminta warisan sebelum waktunya, yang secara budaya berarti ia menganggap ayahnya sudah mati baginya. Ia menghamburkan hartanya dalam kehidupan yang penuh dosa hingga akhirnya jatuh miskin dan menderita. Namun, ketika ia sadar akan keadaannya, ia mengambil keputusan untuk kembali kepada ayahnya. Ini adalah gambaran dari pertobatan sejati—kesadaran akan kesalahan, penyesalan yang mendalam, dan keberanian untuk kembali kepada Tuhan.

Sikap sang bapa dalam perumpamaan ini sungguh luar biasa. Ia tidak menunggu dengan sikap dingin atau menghakimi, tetapi justru berlari menyambut anaknya yang kembali. Ini adalah gambaran nyata dari Allah yang penuh belas kasih. Ia selalu siap mengampuni kita dan menerima kita kembali, berapa pun besar dosa yang telah kita lakukan.

Anak sulung melambangkan mereka yang merasa telah setia, tetapi tidak mampu memahami belas kasih Allah. Ia iri terhadap pengampunan yang diterima adiknya dan marah kepada ayahnya. Sikap ini mengingatkan kita agar tidak terjebak dalam sikap merasa lebih benar dibandingkan orang lain. Allah mengundang kita untuk bersukacita ketika seorang berdosa bertobat, bukan malah menyimpan iri hati atau merasa lebih pantas mendapat kasih Allah.

Perumpamaan ini menantang kita untuk bertanya: siapakah kita dalam kisah ini? Mungkin kita seperti anak bungsu yang pernah tersesat dan membutuhkan pertobatan. Mungkin juga kita seperti anak sulung yang sulit menerima kasih dan pengampunan Tuhan bagi orang lain. Atau, kita dipanggil untuk meneladani sang bapa, menjadi pribadi yang penuh belas kasih terhadap sesama.

Saudara-saudari terkasih, Tuhan selalu menantikan kita dengan tangan terbuka. Ia ingin kita kembali kepada-Nya dengan hati yang rendah, penuh penyesalan, dan siap menerima kasih-Nya. Mari kita berusaha menjadi anak-anak yang setia, saling mengasihi, dan bersukacita atas setiap pertobatan yang terjadi dalam hidup ini.

Semoga kita semua semakin menyadari betapa besar kasih Allah, dan menjawab kasih itu dengan kehidupan yang penuh syukur dan kebaikan.

Amin.

Bagikan ke

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *